Mengenal Tumbuhan Kelakai dan Potensinya (Hasil Hutan Bukan Kayu)

1. Kelakai

Kelakai (Stenochlena palustris) merupakan salah satu tumbuhan jenis pakis atau paku-pakuan yang berbentuk perdu, daunnya tumbuh bersusun di kiri kanan sirip/batang. Kalakai atau kelakai (nama lokal di Kalimantan Tengah) termasuk dalam famili Polypodaceae yang banyak tumbuh dan berkembang di Kalimantan Tengah (Shinta dan Atyk, 2011).

Tumbuhan kelakai dapat dipanen pada waktu 4-6 hari dan tumbuh baik pada daerah-daerah yang mempunyai kelembaban yang tinggi seperti lahan gambut. Kelakai memiliki panjang 5-10 m dengan akar rimpang yang memanjat tinggi, kuat, pipih, persegi, bersisik dan tumbuh dengan tubas yang merayap. Daun kelakai menyirip tunggal dengan tangkai daun dapat mencapai 10-20 cm.

Selain itu, daun kelakai juga mengkilat dan kerap kali berwarna keunguan pada daun muda berbentuk lanset dengan lebar 1,5-4 cm, dan kedua sisi tidak sama. Stenochlena palustris mampu berperan sebagai antinyeri maupun antiradang, yang mekanisme pembentukan nya melibatkan reaksi oksidatif oleh molekul peroksida (Suhartono, 2008).


Umumnya masyarakat Kalimantan Tengah mengenal dua jenis kelakai yakni kelakai merah dan kelakai hijau. Kelakai merah lebih banyak dimanfaatkan masyarakat untuk tujuan konsumsi (Shynta & Atyk, 2001). Sedangkan penelitian Irawan et. al. (2006), menyatakan bahwa kelakai yang dapat dikonsumsi terdiri dari dua jenis yaitu kelakai putih dan kelakai merah.

Kelakai merah adalah kelakai hijau dengan warna kemerahan, sedangkan kelakai putih adalah kelakai hijau dengan warna pucat. Data TAD (1981) dalam MacKinnon (2000), menjelaskan bahwa kelakai adalah tumbuhan yang memiliki potensi sebagai sumber sayuran alternatif khas suku Dayak Kenyah di Long S Barang  (Apo Kayan) dan Long Segar (S. Telen) Kalimantan Timur, dengan bagian yang diambil batang dan daun.

Kelakai (Stenochlena palustris) merupakan salah satu tumbuhan jenis pakis atau paku-pakuan yang berbentuk perdu, daunnya tumbuh bersusun di kiri kanan sirip/batang. Fe pada kelakai sangat tinggi sehingga berpotensi untuk mencegaha anemia pada remaja wanita dan ibu hamil (Fahruni et al., 2018). Secara spesifik, tumbuhan kelakai mempunyai manfaat untuk mengobati anemia yang banyak digunakan oleh suku dayak yang masih belum diteleti tetapi sudah memberikan banyak bukit manfaatnya secara empiris (etnobatoni).

2. Eksplorasi Kelakai

Terdapat banyak sebaran tanaman  kelakai di Kalimantan terutama di daerah Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah. Umumnya banyak yang belum mengetahui manfaatnnya dan juga belum ada tempat pemasaran untuk penjualan kelakai dalam bentuk kapasitas yang besar. Tanaman kelakai hanya dimanfaatkan sebagai sayuran saja oleh kebanyakan masyarakat suku dayak.

Menurut Soendjoto (2002) dalam Maharani, et al. (2006) dijelaskan salah satu manfaat tanaman kelakai adalah sebagai makanan hewan bekantan (Larvatus nasalis). Tumbuhan kelakai disebut sebagai pangan fungsional yang diartikan sebagai kumpulan berbagai makanan yang sudah terbukti mampu mempertahankan fungsi biologis, baik tunggal maupun berulang-ulang untuk meningkatkan pada bidang  kesehatan.


Pangan fungsional juga mempunyai karakteristik sebagai makanan yaitu karakteristik sensorik, baik warna, tekstur, dan citarasanya, serta mengandung zat gizi disamping mempunyai fungsi fisiologis bagi tubuh. Dapat dikonsumsi layaknya makanan sehari-hari berupa makanan atau minuman (Sampoerno dan Dedi Fardiaz, 2001).

Beberapa fungsi fisiologis dari kelakai yang dimiliki manfaatnya dari batang sampai akarnya  antara lain mengatur daya tahan tubuh, mengatur kondisi fisik, mencegah penuaan dan penyakit yang berkaitan dengan makanan.

Masyarakat Dayak Kalimantan Tengah sangat menyukai makanan kelakai  yang dimanfaatkan hanya daun dan batang saja, cara memanfaatkan daun kelakai dengan dimasak dengan cara dioseng-oseng, sayur bening atau direbus untuk lalapan.

Berdasarkan studi empiris daun dan batang kelakai muda dipergunakan oleh masyarakat suku Dayak sebagai suplemen penambah darah, obat awet muda, penambah ASI pada ibu yang sedang menyusui, obat tekanan darah tinggi, pereda demam dan mengobati sakit kulit (Maharani, dkk., 2005).

Secara spesifik, tumbuhan kelakai mempunyai manfaat untuk mengobati anemia yang banyak digunakan oleh suku dayak yang masih belum diteleti tetapi sudah memberikan banyak bukit manfaatnya secara empiris (etnobatoni). Tanaman kelakai mempunyai manfaat yang mengandung Fe terhadap ibu yang menyusui dan balita, sebagai pereda demam, dan lain-lainnya.

Keripik kelakai adalah produk dari kreativitas masyarakat suku dayak yang telah mengembangkan manfaat daun kelakai yang tidak hanya dimanfaat sebagai sayuran yang dimasak sebagai oseng-oseng, sayur bening dan lalapan.

Usaha keripik kelakai sangat membantu perekonomian hanya saja masih belum diproduksi dalam skala besar dan hanya dikonsumsi oleh masyarakat Kalimantan Tengah,  sehingga eksplor kelakai terhambat tidak dapat dijangkau oleh semua masyarakat seluruh Indonesia karena masih kurangnya perhatian pemerintah terhadap produk daerah lokal (Kasim M., 2004).

3. Potensi Kelakai

Kelakai pada saat ini tersebar di seluruh kawasan hutan Kalimantan Tengah. Tumbuhan ini tidak sulit untuk ditemui karena pada dasarnya dapat tumbuh dimanapun di daerah Kalimantan Tengah. Pemanfaatan tumbuhan ini digunakan oleh masyarakat lokal hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari baik sebagai obat maupun dijadikan sayur.

Kepercayaan masyarakat terhadap tumbuhan kelakai sebagai bahan obat dan sayur sudah sejak lama. Beberapa penelitian membuktikan bahwa daun kelakai mengandung beta karoten dan asam folat yang cukup tinggi, berturut-turut yaitu 154,1 ppm dan 11,3 ppm. Selai itu, kandungan mineral dan Fe pada kelakai sangat tinggi sehingga berpotensi untuk mencegaha anemia pada remaja wanita dan ibu hamil (Fahruni et al., 2018).

4. Tingkat Produktivitas Masyarakat Terhadap Kelakai

Dari berbagai penelitian yang pernah dilakukan dapat dilihat bahwa kelakai merupakan tanaman dengan potensi yang cukup besar, terutama tumbuhan ini tidak membutuhkan perlakuan khusus untuk dibudidayakan. Kelakai banyak tumbuh di area rawa gambut hampir di seluruh kawasan Kalimantan Tengah.

Dari sini kita dapat melihat kelakai dapat dijadikan sebagai produksi pangan berkelanjutan di lingkup masyarakat tanpa takut kelakai akan mengalami kepunahan terutama sebagai pangan fungsional karena memiliki kandungan protein, lemak, mineral, zat besi, dan zat-zat lain yang dapat mendukung daya tumbuh dan kesehatan masyarakat.

Namun yang terjadi saat ini adalah kelakai masih hanya digunakan sebagai produksi pangan berupa oseng sayur, kerupuk kelakai, piye kelakai dan keripik serta stik kelakai yang telah menyebar di kalangan masyarakat sebagai konsumsi masyarakat maupun untuk oleh-oleh khas Kalimantan Tengah yang hampir diketahui seluruh masyarakat yang pernah menginjakkan kaki di tanah Borneo tersebut.

Melalui produksi ini sebenarnya masyarakat telah mengetahui bahwa kelakai ini dapat menghasilkan produktivitas yang tinggi untuk menunjang perekonomian. Namun, sebaliknya kenyataan yang terjadi di lapangan memberikan informasi bahwa masyarakat memanfaatkan kelakai lebih banyak digunakan untuk kebutuhan konsumsi dan tidak begitu berorientasi pada produksi secara massal.


Melihat begitu banyaknya kandungan yang terdapat dalam kelakai ini selain hal yang disebut sebelumnya, maka sangat penting untuk mengutamakan kelakai sebagai produksi pangan bagi masyarakat lokal demi mencapai tingat produktivitas yang berkelanjutan. Adapun hal yang penting untuk dilakuan demi peningkatan kualitas dan kuantitas produksi pangan melalui tumbuhan kelakai ini adalah :
  • Perlunya bantuan dari pemerintah dalam rangka meningkatkan produktivitas khas Kalimantan Tengah ini. Selama ini yang dapat dilihat adalah produksi kelakai hanyalah produksi rumahan yang terlahir dari inisiatif masyarakat dalam peningkatan penghasilan tanpa ada pikiran untuk meningkatan mutu dan kualitas kelakai ke depannya. Menurut analisis studi kasus yang pernah dilakukan oleh dosen Universitas Muhammadiyah Palangka Raya, di Keripik Kelakai Imur, Kecamatan Pahandut pada September sampai November 2015 lalu, jumlah biaya yang dikeluarkan selama satu periode produksi adalah Rp. 10.141.200,00. Dalam satu periode tersebut dihasilkan 1,440 bungkus dengan harga per bungkus Rp. 10.000,00 dan diperoleh jumlah penerimaan sebesar Rp. 14.400.000,00. Jadi penghasilan yang diperoleh selama satu periode produksi tersebut adalah Rp. 4.768.800,00. Melihat pada pendapatan yang diperoleh tersebut maka dapat diasumsikan kelakai layak untuk diproduksi dan memperoleh keuntungan yang termasuk besar (Asro, L. et al., 2016). Jika ada inisiatif yang lebih besar lagi dari pemerintah dalam meningkatkan produktivitas maka peningkatan mutu produksi akan lebih meningkat lagi.
  • Perlunya eksplorasi yang mengkaji tentang manfaat, mutu dan kuantitas kelakai. Seperti diketahui sebelumnya penelitian untuk tanaman kelakai telah banyak dilakukan, namun tindakan pemerintah untuk turut ambil bagian dalam hal ini masih kurang.

5. Pengolahan Kelakai

Saat ini pengolahan kelakai sudah dimanfaatkan oleh masyarakat lokal dalam bentuk keripik selain dimanfaatkan sebagai sayur dan bahan obat-obatan. Pengolahan ini dilakukan sebagai salah satu alternatif dalam meningkatkan keanekaragaman konsumsi pangan lokal di masyarakat.

Dalam satu periode, pengeluaran yang dibutuhkan dalam usaha kalakai meliputi biaya pembelian bahan baku, pembayaran listrik, pembelian bensin, biaya penyusutan dan tenaga kerja (Asro L. et al., 2016).

Dalam pengolahan ini, tentunya target utama adalah memperoleh keuntungan. Untuk mengetahui besarnya keuntungan digunakan analisis pendapatan. Menurut Richard (1995) di dalam Asro L. et al.(2016) , rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:

Keuntungan = Total Penerimaan – Total Biaya

Kriteria:
  • Jika total penerimaan > total biaya, usaha untung
  • Jika total penerimaan = total biaya, usaha tidak untung dan tidak rugi (impas)
  • Jika total penerimaan < total biaya, usaha tersebut rugi
Pustaka:
Asro L. et al. 2016. Studi Kasus Analisis Pendapatan Usaha Keripik Kalakai Imur di Kota Palangka Raya. Jurnal Daun 3(1): 1-6

Balai Penelitian Tanaman Pangan Kalimantan Tengah. 2008. Mengenal Sayuran Kalakai. BPTP Kalimantan Tengah. Palangka Raya.

Fahruni,dkk. 2018. Potensi Tumbuhan Kelakai (Stenochlaena Palustris (Burm.F.) Bedd.)  Asal Kalimantan Tengah Sebagai Afrodisiaka. Jurnal Surya Medika Volume 3 No. 2

Irawan, D., C.H. Wijaya. S.H. Limin, Y. Hashidoko, M. Osaki, dan I.P. Kulu. 2006. Ethnobotanical Study and Nurient Potency of Some Local Traditional Vegetable in Central Kalimantan. Di dalam : Mitsuru Osaki et al. (Ed). Prosiding of The International Symposium on Land Management and Biodiversity in Southeast Asia. Bali, Indonesia, 17-20 September 2002. Tropics Journal 15 (4) : 441-448.

Kasim, M. 2004. Petunjuk Menghitung Keuntungan dan Pendapatan Usaha tani. Universitas Lambung Mangkurat. Banjarbaru.

MacKinnon, dkk. 2000. Ekologi Kalimantan edisi III. Jakarta

Maharani, Haidah, and Hainiyah. 2006. Studi Potensi Kalakai Sebagai Pangan Fungsional. Kumpulan Makalah PIMNAS XIX, 26-29 Juli di Universitas Muhamadiyah Malang.

Mukti H. N., Mochamad A. S., dan Dharmono. 2006. Jenis Tumbuhan Paku Di Kawasan Rawa Sungai Lumbah, Kabupaten Barito Kuala. Prosiding Seminar Nasional Lahan Basah 1: 141-145.

Shinta dan Atyk. 2011. “Kalakai” Sayuran Lokal Potensial dan Kaya Manfaat. BPTP Kalimantan Tengah. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian. 

Suhartono, E. 2008. Potention of Aquaeus Extract Kalakai as Antiinflammatior by Oxidative Mechanism. Congress International Korean Medicine. 22-23. Sangji University. Korea 

Editor : Zega Hutan
close